Kondisi alam sekarang semakin tidak dapat dimengerti lagi, terkadang ia sangat tenang bahkan menyenangkan, namun sewaktu-waktu berontak tanpa dapat diprediksi. Secanggih apa pun teknologi yang dihasilkan manusia modern, tetap saja belum mampu untuk memprediksi secara akurat perilaku alam dan siklus gejolaknya –yang penuh dengan pertanyaan dan tidak jarang memuntahkan kemarahannya. Begitu banyak bencana alam yang pernah menyapa bumi kita ini, baik itu berupa longsor, banjir bandang, kekeringan dan sebagainya. Secara alami, sewaktu-waktu alam bergejolak karena dirinya sendiri, namun di sisi lain alam memberontak karena ulah manusia. Manusia sudah berada di pinggiran eksistensinya bahkan melupakan hakikat hidupnya yaitu taat kepada Sang Pencipta yang artinya manusia siap menerima amanah apa pun dari Tuhan dalam hal ini menjaga dan merawat alam. Amanah ini sama sekali tidak dihiraukan lagi semenjak manusia menempatkan dirinya sebagai penguasa di bumi ini. Alam ditindas begitu saja demi kepuasaan yang selalu ingin diraih, dan bahkan Tuhan pun berani diabaikan. Manusia menindas alam dengan sepuasnya tanpa mempertimbangkan akibat-akibatnya. Penebangan pohon secara liar, pembuangan limbah industri yang mencemarkan, pemakaian bahan kimia yang berlebihan dan sebagainya merupakan hal yang dapat mengganggu ekosistem makhluk hidup.
Gejolak alam, krisis lingkungan dan sebagainya berawal dari pandangan pengetahuan modern yang menganggap alam sebagai mesin raksasa yang mati, tidak bernyawa dan statis. Manusia dengan segenap pengetahuan yang dimilikinya menjadikan alam sebagai objek yang dapat digunakan kapan saja dan dengan cara apa pun. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memang telah memberi begitu banyak berkah, juga mendatangkan apa yang mungkin menjadi ujian terbesar yang pernah dihadapi umat manusia. Masalahnya bukan pada kemajuan ilmu pengetahuan yang akan menjadi sebab kehancuran manusia. Tetapi, yang dipertaruhkan adalah kemampuan manusia untuk menyeimbangkan prestasi lahiriah dengan batiniah (spiritual). Akibat ketidakseimbangan itu dapat dijumpai dalam realitas kehidupan, di mana banyak manusia yang sudah hidup dalam lingkup peradaban modern dengan menggunakan berbagai teknologi bahkan teknologi tinggi sebagai fasilitas hidupnya, tetapi dalam menempuh kehidupan, terjadi distorsi-distorsi nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi, penganiayaan terhadap alam, alienasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk berbaur dengan peradaban modern.
Manusia dengan kecerdasan dan bantuan teknologi seharusnya lebih bijak dan arif, tetapi pada kenyataannya banyak manusia yang kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibanding kemajuan berpikir dan teknologi yang dicapainya. Di tengah glamournya kehidupan modern, manusia mengalami krisis yang luar biasa, karena banyak manusia kehilangan makna hidup yang menyebabkan mereka ditimpa gelisah dan kekacauan spiritual. Hilangnya makna rohani dan spiritual bagi sebagian manusia modern telah menyebabkan kekeliruan visi dan penyimpangan misi mereka. Keadaan semacam itu membuat program-program hidup mereka bukannya memperkaya kemanusiaannya, tetapi menurunkan harkat dan martabat mereka, dari makhluk termulia menjadi makhluk hina.
Fritjof Chapra menyebutkan bahwa beberapa puluh tahun yang lalu tokoh-tokoh dunia memutuskan untuk menggunakan “ atom untuk perdamaian”, dan mengajukan atom sebagai sumber energi yang murah, bersih dan terpercaya bagi masa depan. Dan kini manusia telah menyadari bahwa kekuatan nuklir itu tidak aman, tidak bersih, dan tidak pula murah. Ribuan ton bahan beracun yang dikandung reaktor nuklir ini telah dilepaskan ke lingkungan oleh letusan-letusan nuklir. Karena bahan-bahan beracun terus meningkat tumpukan dalam udara yang manusia hirup, makanan yang di makan, air yang diminum, maka resiko manusia terhadap berkembangnya penyakit seperti kanker dan penyakit-penyakit genetika semakin meningkat.[i] Dengan perkembangannya yang terus- menerus, kemungkinan akan terjadinya kepunahan global itu setiap harinya semakin besar. Bahkan tanpa mempertimbangkan ancaman malapetaka nuklir sekalipun, ekosistem global dan evolusi kehidupan selanjutnya di bumi berada dalam bahaya yang serius dan bisa berakhir dalam suatu bencana ekologis dalam skala besar. Kelebihan penduduk dan teknologi industri telah menjadi penyebab terjadinya degradasi hebat pada lingkungan alam yang sepenuhnya menjadi gantungan hidup manusia.
Tindakan manusia di zaman sekarang seperti seseorang yang meminum air laut yang asin untuk memuaskan dahaga tanpa menghasilkan apapun selain dahaga yang berkepanjangan dan efek samping yang menghacurkan bagi orang tersebut. Manusia yang menyalahgunakan sains – melalui penempatan manusia sebagai pusat alam semesta dan mengabaikan Tuhan serta memutuskan hubungan dengan Nya- memaksa alam dengan tujuan untuk memperkaya seseorang, lebih berkuasa dan memenuhi keinginan, ketamakan dan jiwa yang tidak pernah puas. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar jika alam berontak dalam waktu yang tidak bisa diprediksi manusia.
Menurut Horkheimer sebagaimana dikutip oleh Sindhunata dalam karyanya “Dilema Usaha Manusia Rasional” sikap manusia terhadap alam atau penaklukan alam adalah hanya demi self-preservation. Orang bisa survive jika ia sanggup mempertahankan diri terhadap alam sekitarnya. Demi self-preservation, berabad-abad lamanya orang berusaha menaklukkan alam. Bermula dengan masyarakat gembala, kemudian masyarakat petani, sampai ke masyarakat industri, manusia memang memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap alam. Namun pada jaman modern ini permusuhan manusia terhadap alam menjadi total. Dulu manusia masih bisa menghargai alam, kini alam secara total ingin ditaklukkan. Penindasan alam sekilas memang kelihatan mulia karena diberi alasan rasional, yaitu kepentingan manusia untuk mempertahankan dirinya.[ii] Namun, manusia hanya memikirkan kepentingannya semata untuk kesejahteraan hidupnya tanpa mempertimbangkan kondisi alam yang semakin meringkih.
Begitu banyak dampak terhadap manusia akibat ke-labil-an alam yang terus ditindas oleh manusia. Kekeringan yang terlalu lama – kadangkala menyebabkan kelaparan bagi suatu kelompok manusia-, kekurangan air bersih karena banjir atau pencemaran limbah pabrik, banjir bandang yang merugikan manusia itu sendiri- akibat penebangan hutan yang dilakukan secara liar-, dan masih banyak dampak lain yang secara langsung merugikan bahkan membahayakan bagi manusia itu sendiri.
Sudah saatnya kita memahami eksistensi diri sebagai khalifah fil ardh yang bertanggung jawab dan berpikir bijak akan kemampuan bumi dan lingkungan hidup ini dalam menopang kebutuhan manusia. Tidak cukup memulai dengan cara-cara instan, tetapi dengan ruang lingkup yang global dan dengan tindakan yang pasti. Sebuah langkah kecil namun berarti. Sebuah langkah sederhana namun berkelanjutan dan berkesinambungan. Selamatkan alam sekarang atau tidak sama sekali, untuk kehidupan yang lebih baik, lebih hijau, damai dan alami. Jangan sampai menunggu ditindas oleh alam!
[i] Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, terj, cet IV,(Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2004), hlm. 5
[ii] Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt,cet.II, ( Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 111
No comments:
Post a Comment