Sunday, August 7, 2011

Jeumala dalam cerita


Rencana menjadi anak pesantren ada, tetapi sedikit. Karena saya sudah prediksikan kalau saya masuk pesantren pasti butuh banyak biaya. Dan orangtua saya tidak bisa banyak memproduksikan duit, karena ibuku sebagai guru di sebuah sekolah menengah pertama, dan ayahku adalah petani. Jadi, saya tidak pernah berharap banyak, karena saya adalah anak ke-6 dari 7 bersaudara. Abang-abangku semua pada kuliah, jadi kumpulan gaji emak saya tiap bulan buat bayar biaya semesteran abang-abang. Hmm, impian abang-abang dan satu kakak saya adalah nyantren di pondok pesantren terpadu. Tetapi, sekali lagi karena ekonomi orangtua saya tidak tebal, impian itu mereka simpan untuk adik-adik mereka. Kalau memang rezeki, tidak usah dikejarpun, menghampiri. Kebetulan, rezeki orangtua saya persis setelah saya tamat Sekolah Dasar lumayan harum. Namun, niat saya ke pesantren juga belum kukuh, pun seragam untuk masuk sekolah biasa pun sudah dipersiapkan oleh emak. Memang, emak itu terlalu baik hatinya. I love u makk. Setelah berpikir panjang-dan juga terpengaruh oleh beberapa kawannya yang ingin anaknya masuk pesantren, orang tua mana yang tidak sayang anak, pasti setiap orang tua akan melakukan hal yang terbaik buat anak-anaknya- maka mak memutuskan untuk mendaftarkan nama saya di sebuah pesantren terpadu dan ternama.hehe. Pendaftaran administrasi pun lancar, ditambah dengan berbagai macam tes lainnya, tes tulis, dan tes baca Al Qur’an. Tidak disangka dan diduga –jujur saya memang tidak 100% mengenal soal-soal yang diberikan apalagi jawabannya, sama sekali tidakkk,,ohh tidak- sedikit tepatnya lumayan sulit tes tulisnya. Apalagi di sesi psikotest, paling gak ngerti ditanya apa, ada gambar-gambar yang gak jelas maknanya apa, sudah tidak jelas, ditanya pula apa maksudnya, mana saya ngerti??? Ada gambar bulat, persegi, kotak-kotak, segitiga dan macam-macam lah bentuknya. Haha. Tidak usah diadakan test IQ, sudah ketahuan berapa frekwensinya, masih tinggi IQ gorilla kali ya, nau’dzubillah. Tes tulis asli lumayan sulit bagi saya, meskipun peserta ujian lain banyak yang senyum saat menjawab soal tapi saya senang karena test Al Qur’annya mengasyikkan. Setelah melalui berbagai cobaan,cabaran dan kawan-kawan penderitaan lain, maka “selalu” all praises are due to Allah, saya dinyatakan naik kelas, eh bukann, tapi dinyatakan lulusssss untuk menjadi santriwati Pesantren Terpadu Dayah Jeulama Amal. Mak dan Bapak senangnya minta ampun. Sudah lama memimpikan ada anaknya yang nyantri di ponpes modern, dan kali ini mimpi mereka terkabul. Hehe. Berawal dari pengaruh ajakan kawan-kawan mak dan jurus jitu “coba-coba” berakhir di pesantren juga.
Pertengahan tahun 2001.
Setelah mempersiapkan segala berkas untuk registrasi ulang, dan mempersiapkan segala macam peralatan yang biasa diperlukan bagi seorang santri untuk mondok, nah sekarang waktunya masuk asrama. Oh noooo...masuk asrama it means tinggal jauh dari emak, pak, abang, kakak, adik, nenek, kakek, tetangga, orang kampung, pak Geuchik, Tgk imum,waduuh, ribet. Asrama sama aja hidup dalam ”penjara kebaikan”, tidak bebas, banyak peraturan, gak bisa pergi mancing lagi, tidak ada main layang2 di sana, tidak ada lagi istilah nyuci di sungai bareng kawan-kawan sekampung, tidak ada lagi semua yang asyik. Sekarang ada di sebuah asrama yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kebenaran, setelah pembagian kelas, saya terjebak di kelas ID namanya, karena anak Tsanawiyah dibagikan menjadi 4 kelas, 2 kelas untuk saudara laki-laki, dan 2 kelas lagi untuk saudari perempuan. Ada kelas IA, IB, IC, dan terakhir adalah ID di mana saya telah dijerumuskan. Tidak tahu pasti bagaimana proses pengklasifikasian, ntah secara random atau nilai, namun isu yang terdengar, pembagian itu berdasarkan grade nilai. Emm, kesimpulan saya sementara adalah nilai saya paling rendah, buktinya saya diletakkan di kelas paling terakhir. Semoga tidak!! Tidak apa-apa juga, yang penting saya sudah menjadi bagian dari pondok ‘impian’ setiap orang (baca: khususnya orang tua bukan anak, haha).
***
Dengan segala keluguan saya, saya siap menerima identitas sebagai anak pondok yang harus tinggal jauh dari orang tua. Sedih sekali, anak yang masih berumur 12 tahun harus hidup mandiri di dunia antah berantah.
***
Hari pertama di pesantren adalah hari berkenalan dengan kamar baru, lemari baru, ranjang baru, kamar mandi baru, ruang makan baru, beberapa orang baru dan pastinya kawan-kawan baru. Hari pertama juga merupakan hari tekad bulat untuk benar-benar ingin hidup mandiri. Sedih. Setelah semua barang rampung dirapikan oleh mak saya, mak pun pulang ke kampung dan saya sekarang benar-benar sendiri. Oh no..orang-orang baru di sekitar saya juga belum kusapa, karena air mata masih memenuhi mata yang siap ditumpahkan kapan saja. Tidak berani juga kusapa karena memang belum pernah jumpa sama sekali. Hari pertama sampai sore saya belum berani menjadi orang-orang baru itu sebagai kawan.
Sabtu. 06 Agustus 2011, 03.10 pm
Akan bersambung......

1 comment:

Anonymous said...

belajar banyak