Thursday, March 15, 2012

Harapan luka




Duduk termenung adalah jalan pintas yang selalu aku gunakan ketika solusi demi solusi belum membuahkan hasil. Duduk termenung itu berarti sedang berfikir keras layaknya para pemikir yang sedang mengadakan kontemplasi. Tapi, ini bukan kontemplasi serius, hanya kehabisan cara. Ya, aku juga bersyukur karena paling tidak masih bisa menulis ini sekaligus bisa kontemplasi kecil-kecilan. Juga tidak pernah membenci mereka-mereka yang berlomba-lomba mewakili rakyat dengan hanya duduk diam kemudian pulang. Tidak pernah membenci karena memang tidak pernah suka, bagaimana bisa membenci?
Masih beruntung karena Sang Pencipta pun senantiasa memberikan anugerah per anugerah. Aku bisa melihat indahnya dunia, tidak buta huruf, masih bisa makan meskipun sekali dalam sehari, pernah merasakan bagaimana hidup dalam penderitaan konflik, bisa mengecap pendidikan sampai sarjana walaupun bukan lulusan universitas unggulan. Indahnya bisa bersyukur.
***
Hidup tidak ada masalah itu tidak asyik, itu kata aku. Jika hidup terus saja lurus dan manis. Tidak manis. Pun hidup selalu berkelok-kelok, pahit dan ujungnya juga pahit. Pahit Sekali. Namun, ketika pahit dan manis itu berkolaborasi, maka hidup juga warna warni.
***
M-a-s-a-l-a-h. Aku sudah mengenalnya sejak masih di Sekolah Dasar. Sulit memahami angka-angka dalam mata pelajaran berhitung ditambah lagi guru yang tidak toleransi terhadap anak “kurang tanggap” seperti aku, itu adalah masalah. Ketika tiba-tiba dalam perjalanan pulang sekolah bertemu dengan orang gila yang ganas, itu adalah masalah bagi aku yang masih belum bisa defensif.
***
Semua orang mengenal masalah dan pasti memiliki jalan keluar yang berbeda-beda. Dan sekarang, menyelesaikan magister dengan biaya pribadi adalah benar-benar masalah bagiku. Mengeluh sudah pasti tidak bisa ikut andil untuk menyelesaikan perihal ini. Karena keyakinan yang memberanikanku untuk melangkah ke strata lebih lanjut . IQ-ku yang tidak mencolok sudah cukup untuk menjadi motivator agar aku selalu gigih dan yakin untuk mencapai apa yang aku inginkan. Setiap ada program beasiswa, aku tidak pernah alpa untuk melamarnya meski kemungkinan untuk diterima sangat tipis. Kata-kata “rugi” selalu menyertai mereka yang tidak pernah mencoba. Tidak pernah salah untuk mencoba dan berusaha.
***
Dua semester telah berhasil aku lalui, dan artinya kuliah magisterku hampir saja rampung. Niat hati ingin mundur saja karena biaya kuliah untuk semester depan juga belum terkumpulkan. Cleaning service restoran, pramusaji sampai jadi tukang kebun pun sudah kulakoni demi sesuap nasi + biaya kuliah semesteran akan datang. Namun, urusan besar sekarang adalah upah dari kerjaan part timeku itu tidak sebesar gaji anggota dewan yang bisa mengcover biaya apartemen + jajan (jalan-jalan) + beli tanah + investasi sana sani + uang kuliah + dan lain-lain.
***
Kondisi kali ini benar-benar membuatku gundah menggulana. Bagaimana tidak, finansialku sudah terlampau menipis meskipun kerja banting tulang tetap kuperankan demi kelanjutan masa depan. Modal awal kuliah adalah sepetak sawah yang rela orang tuaku gadaikan demi menggapai asa di Negeri Seberang. Ah, orang tua memang selalu ingin berkorban demi kesuksesan anak-anaknya. Tapi, apa harus mengandalkan dan menyusahkan orang tua terus; mulai dari berbentuk janin sampai uzur? Tidak mungkin. Orang tua yang berpenghasilan pas-pasan dengan bertani dan berkebun sudah cukup membuatku segan untuk meminta terus-menerus.
***
Kosong. Di mana lagi aku harus morat-marit mencari koin-koin yang belum terkumpulkan untuk kujadikan biaya kuliah semester depan. Aku pernah berharap bisa mendapatkan beasiswa dari pemerintah daerah- dari mana aku berasal- namun, itu tidak mungkin. Bagaimana tidak, aku pernah memberanikan diri untuk bertemu dengan seseorang yang memiliki andil besar dalam memberikan beasiswa kepada anak daerah. Aku menyampaikan maksud kedatanganku dengan berbicara secukupnya, karena aku tahu sebagai orang penting yang memiliki jabatan tertentu di tingkat provinsi pasti memiliki jadwal yang sibuk. Rasanya seperti buang-buang waktu jika ia hanya mendengar ocehan seorang mahasiswa magister yang perkara ujung-ujungnya adalah minta sedekah. Pun, pertemuan itu berujung gelisah. Permintaanku akan beasiswa tidaklah mudah untuk dipenuhi begitu saja. Lantas, aku hanya terduduk tenang mendengarkan penjelasan yang sama sekali tidak menjawab harapanku itu. Ya, jawabannya adalah negatif. Aku pun berani meyakinkannya dengan kalimat “jikalau pun Bapak tidak berani memberikan saya beasiswa, sudikah Bapak memberikan pinjaman uang daerah yang akan saya gunakan untuk pembiayaan kuliah semester depan? Anggap saja ini adalah permintaan bantuan dana pendidikan dan saya berjanji akan mengembalikan “hutang” itu ketika koin-koin yang saya cari terkumpulkan”.
***
Rasanya terlalu bodoh untuk melontarkan kalimat tersebut, karena aku tahu persis jawaban yang akan aku dengar. Ya, tidak mungkin, NOL. Benar, sangat sulit untuk menaruh banyak kepercayaan kepada seseorang yang meminta pinjaman dan hanya mengandalkan ijazah S1 sebagai jaminan, dan itu adalah aku. Ok, harapanku kali ini belum berbuah kenyataan. Dan seperti biasa, banting tulang tetap harus diperankan untuk mengumpulkan recehan demi recehan meski kuliah semester depan untuk sementara harus aku non-aktifkan. Pahit, menaruh harapan pada manusia memang selalu berujung luka!
## hanya pengalaman seorang kawan :)

No comments: