Sungguh hari ini kami mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, yah pelajaran itu pelajaran bersyukur. Rasanya apa yang kami lihat hari ini adalah fiksi belaka atau pun hanya mimpi yang lewat begitu saja ketika kami terlelap. Namun, sejatinya apa yang kami saksikan dengan mata kepala adalah kenyataan yang memilukan bukan khayalan belaka. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca dan tetaplah asah rasa syukurmu kepada Allah di setiap saat, apapun kondisinya, jangan pernah menghujat Allah untuk segera memberikanmu kesenangan. Terkadang kesusahan itu lebih baik untuk mu dari pada kesenangan. Allah sangat tahu kapan memberikan senang dan susah. Usaha dan bersyukur.
Pada tanggal 5 Juni, Sabtu sore sekitar pukul 18.50pm, kami masih dalam perjalanan menuju ke Ule Lheu dan melewati Jl. STA Mansyursyah, butiran air yang jatuh dari awan juga menyertai perjalanan kami hari ini. Walaupun cuaca tidak mau bersahabat hari ini (tidak mau bersahabat menurut manusia, padahal cuaca hari ini adalah Rahmat bagi MakhlukNya), kami tetap melanjutkan perjalanan yang penuh hikmah ini. Tapi, perjalanan kami sempat terhenti karena ada pemandangan yang sangat memilukan. Pemandangan ini tidak pernah terlintas di pikiran kami sebelumnya. Kami berpikir bahwa kami tidak akan pernah melihat pemandangan ini di Nanggroe para Pejuang ini. Mungkin, pemandangan ini tidak hanya terjadi sekali ini saja, mungkin berkali-kali terjadi diberbagai pelosok Nanggoe Iskandar ini.
Tepat didepan gerbang Pendopo Nanggoe, kami menghentikan keledai Hoja (sebutan untuk motor butut kesayangan kami) dengan mendadak karena melihat seorang anak laki-laki yang lagi berusaha untuk mengutip kembali beras yang tumpah dari kantong plastiknya di atas aspal hitam. Menurut taksiran, anak laki-laki itu masih berumur 12-an tahun, dengan sabar ia mengutip kembali beras yang tumpah itu dalam derasan air hujan. Tiba-tiba ada dua laki-laki yang menghampirinya dan membantu mengutip berasnya yang tumpah itu. Karena rasa iba yang tak tertahankan, kami juga menghampiri bocah itu. Kami bertanya, “kenapa dek?” dan dua laki-laki langsung bercerita - di samping bocah tadi asyik mengumpul berasnya -“ adek ini tadi diserempet mobil dan terjatuh dan mobil itu berlalu begitu saja” (ya iyalah, pasti mobil itu pakai kaca hitam dan tertutup semua sampai tidak melihat keadaan disekitarnya, kebanyakan moto pengendara mobil adalah jalan ini milik nek Tu aku / jalan milik nenek moyangnya), tragis. Seketika, hati kami sangat teriris karena kejadian tersebut berlokasikan di Pendopo Nanggroe yang mungkin para penghuninya sedang bermesraan dengan kehangatan Istana sedangkan diluarnya ada bocah yang kedinginan dan mengutip beras per beras. Sangat ironis. Plastik yang berisikan beras itu telah rusak dan robek, tapi anak itu masih memasukkan hasil jerih payahnya kedalam plastic tersebut. Melihat itu, kami memberikan plastic yang kami gunakan untuk melindungi tas kami. Paling tidak, dengan plastic itu dia bisa membawa pulang sisa-sisa hasil perjuangannya hari ini. Dua pria tadi memberikan makanan yang mereka bawa kepada anak itu dan karena terburu-buru mereka segera pergi dengan memegang tangan anak itu (tentu saja dengan uang besertanya). Ya, kemudian hanya kami bertiga berada disana dan setelah berbicara sebentar dia segera mendayung sepeda tuanya. “Tinggal dimana dek? “Dibelakang Taman Budaya kak! Dan diapun pergi meninggalkan kami, sedangkan kami harus berusaha menghidupkan Keledai Hoja yang tidak mau lagi di-starter tapi harus di-engkol. Kamipun melesat dan terakhir kami melihat ada seorang pemuda yang menghampiri anak tersebut dan bertanya “Kenapa dek? Dan kami tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan pembicaraan mereka. Yang jelas, sang pemuda itu ingin membantu.
Betapa dilematis keadaan Nanggroe ini, di depan kediaman sang Pemimpin Nanggroe nan megah masih ada anak umur 12 yang mengutip beras gengam per gengam di bawah tetesan-tetesan Rahmat Allah. Anak itu tidak peduli beras itu basah atau tidak, yang penting harus diambil lagi meski telah jatuh di badan jalan yang bersejarah itu. Toh hanya siare (satu bambu) sampai kerumah juga akan dicuci dan langsung ditanak oleh ibunya (itupun jika dia masih punya ibu atau orang tuanya) karena mungkin dia menjemput rezekinya yang hanya cukup makan dua kali sehari.
Senja yang penuh Rahmat itu (baca: hujan) menjadi saksi bahwa kondisi Nanggroe tercinta ini masih sangat lemah untuk melindungi kaum lemah. Anak yang berprofesi penjahit sepatu(dilehernya ada kotak kayu yang digunakan sebagai alat untuk menjahit) itu menjadi bagian yang akan sangat menyedihkan dalam perjalanan Nanggoe ini (meskipun masih sangat banyak kesedihan-kesedihan lainnya yang belum bisa dihilangkan dengan beberapa kesenangan yang diberikan Nanggroe).
1 comment:
Yuhuuu.. ada Jasmine Kawee di blogspot o.O
Busway, memang itu kisah sangat menyayat hati. Nice story :'(
Post a Comment