Saturday, July 10, 2010

Filsafat Kenabian menurut al Faraby, Ibn Sina, Al Ghazali, Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh

Menurut Al Faraby, manusia dapat berhubungan dengan ‘akal fa’al ( akal kesepuluh oleh Al Faraby yang dalam filsafat emanasi adalah malaikat Jibril. Menurut Ibnu Sina akal manusia jika telah mencapai tingkat abstraksi tertinggi (akal mustafad) dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril) melalui dua cara. Pertama, melalui penalaran dan ini hanya dapat dilakukan oleh pribadi pilihan yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya ketuhanan. Kedua, melalui imaginasi (intuisi), ini hanya dapat dilakukan oleh nabi. Yang menjadi perbedaan antara nabi dan filsuf bagi Al Faraby adalah nabi mempunyai imaginasi yang kuat sehingga dapat berhubungan dengan akal fa’al tanpa latihan karena Allah telah melimpahkan kekuatan suci dengan daya tangkap yang luar biasa kepada Nabi. Berbeda hal dengan para filsuf, mereka dapat berhubungan dengan Tuhan melalui ‘akal mustafad yang telah terlatih –melalui studi analisis- dan sangat kuat daya tangkapnya sehingga dapat menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari ‘akal fa’al.


Pendapat Ibnu Sina mengenai teori kenabian juga memiliki kesamaan dengan teorinya Al Faraby. Akal menurut Ibnu Sina terdiri dari empat tingkatan yang terendah di antaranya adalah Akal Material , namun adakalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia Akal material yang benar lagi kuat (intuisi). Daya yang ada pada Akal Material sanga besar, sehingga tanpa latihan pun ia dapat mudah berhubungan dengan akal aktif, dan menerima cahaya dan wahyu dari Tuhan. Atas dasar inilah, Ibnu Sina mengungkapkan—sebagaimana Al Faraby—bahwa nabi itu dapat berhubungan langsung dengan akal aktif ( ‘akal fa’al) pun tanpa adanya latihan. Ia juga menyatakan bahwa kenabian memerlukan kesempurnaan tabiat manusia, ketinggian pikirannya dan kesediaan fitri. Jadi, tidak setiap orang bisa menjadi nabi, melainkan hanya orang-orang tertentu.


Ahmad Hanafi dalam bukunya Pengantar Filsafat Islam menyebutkan bahwa Al Ghazali dalam karyanya Al Munqidzu minad Dhalal, menetapkan bahwa kenabian adalah perkara yang dapat diakui menurut riwayat, dan dapat diterima menurut pertimbangan pikiran. Dari segi pikiran, cukuplah diakui bahwa kenabian mirip dengan gejala-gejala kejiwaan yang diakui oleh kita semua yaitu impian. Al Ghazali berkata “Tuhan telah mendekatkan kenabian kepada hamba-hamba Nya dengan jalan memberikan kepada mereka suatu contoh dari cirri khas kenabian, yaitu tidur, karena orang tidur dapat melihat rahasia yang akan terjadi, baik dengan berbajukan perumpamaan yang akan terjadi, baik dengan jelas atau dengan berbajukan perumpamaan yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.”


Selain ketiga tokoh besar di atas, masih ada tokoh pembaharuan modern yang hidup di awal abad 19 yang membicarakan tentang teori kenabian ini, misalnya Al Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh. Al Afghani mengumpamakan masyarakat dengan badan, di mana anggota-anggotanya saling berhubungan dan mempunyai fungsinya sendiri-sendiri. Kalau badan tidak bisa hidup tanpa roh, maka demikian juga masyarakat. Roh masyarakat adalah kenabian atau hikmah (filsafat). Jadi nabi dan filosof bagi masyarakat sama dengan kedudukan roh bagi badan. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa kenabian adalah anugerah Tuhan untuk hamba-hamba yang dipilihNya, karena Tuhan lebih mengetahui di mana Ia akan meletakkan risalatNya, sedangkan filsafat bisa diperoleh dengan renungan dan pemikiran. Selain itu, nabi terjaga dari kekeliruan, sedang filosof bisa salah.

Menurut Abduh, manusia adalah makhluk social yang tidak mungkin bisa hidup tanpa kawanan kelompok masyarakat. Manusia juga diberikan potensi untuk berfikir dengan anugerah akal dari Tuhan, dengan akal manusia bisa mengetahui mana yang baik dan yang buruk serta mengetahui kewajiban membuat hokum-hukum. Namun demikian, kadangkala kehidupan manusia juga selalu ditimpa kekacauan, keributan dan pertengkaran. Dengan demikian, maka masyarakat memerlukan sekali kepada sebagian anggotanya untuk bertindak sebagai penunjuk jalan, menerangkan apa yang berguna dan apa yang berbahaya dan mengajarkan apa yang dikehendaki Tuhan. Oleh karena itu, sejatinya akal masih membutuhkan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan akhirat, dan menguatkan akal agar mempu mendidik manusia untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.

Dan manusia yang terpilih untuk menyampaikan risalahNya adalah nabi dan rasul-rasul a.s. menurut Abduh keutusan mereka merupakan pelengkap kejadian manusia dan menjadi keperluan yang sangat penting bagi kelangsungannya. Kedudukannya bagi makhluk manusia seperti kedudukan akal bagi seseorang. Keutusan mereka tersebut adalah anugerah yang dilengkapkan oleh Tuhan, agar bagi manusia tidak ada lagi alasan atas Allah sesudah keutusan rasul-rasul.

Menurut Abduh, Tuhan mengkhususkan sebagian makhluk dengan wahyu dan ilham, karena jiwa mereka telah meninggi dan dapat menerima limpahan Tuhan serta rahasiaNya. Tingkatan akal manusia itu berbeda-beda, di mana sebagiannya lebih tinggi daripada yang lain. Al Afghani menganggap nabi sebagai ruh masyarakat sedangkan Abduh menganggap nabi itu sebagai otaknya masyarakat, betapa pentingnya eksistensi kenabian itu.

Semoga bermanfaat, Waallahu 'Alam..:)

No comments: