Saturday, July 10, 2010

Hukum jinayat: Imaginasi Islam Kaffah di Aceh

Qanun Jinayat yang telah disahkan secara resmi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada akhir tahun 2009 (14 September) dengan mengabaikan keberatan Pemerintah Daerah NAD dan masyarakat sipil Aceh dalam rancangan qanun. Perkara inilah yang kemudian memicu pihak pro dan kontra terhadap rancangan qanun jinayat ini. Begitu banyak waktu, tenaga bahkan uang yang telah tertuangkan dalam berbagai seminar untuk membahas rancangan qanun ini yang terlebih dahulu diresmikan oleh pihak DPRA. Hasilnya belum seberapa, masing-masing kelompok memiliki argument terkuat sendiri dalam menjelaskan perlu tidaknya implementasi qanun jinayat tersebut. Pihak pro menyatakan qanun ini harus diterapkan di Aceh sebagai symbol terealisasinya Syari’at Islam, sedangkan pihak kontra menyatakan rancangan qanun ini patut dikaji ulang dan perlu pemikiran yang lebih komprehensif.

Pada dasarnya, hukum acara qanun jinayat yang dirancangkan tersebut terkandung imajinasi tentang Islam kaffah (Islam yang menyeluruh dan sempurna). Sebuah sistem katakan saja Syari’at Islam dinilai kurang Islam kalau tidak menerapkan jenis hukum yang dianggap bagian dari Islam, seperti cambuk, rajam, potong tangan, dan seterusnya. Imajinasi Islam Kaffah mengharuskan orang tunduk pada jenis hukum tersebut. Ide inilah yang mendorong sebagian orang Aceh-pro qanun jinayat- supaya segala problematika social tertuntaskan dengan implementasi hukum ini. Terlaksananya hukum ini dengan harapan masyarakat memiliki rasa takut untuk melakukan perbuatan yang dilarang dalam Islam seperti maisir, mencuri atau berzina.

Pihak pro qanun jinayat menganggap hukum acara jinayat dan implementasinya tersebut sebagai prestasi hukum luar biasa dalam penerapan syariat Islam. Dengan qanun ini, hukum Islam dianggap telah berlaku di Aceh, karena hukum jinayat dianggap jenis hukum produk Tuhan yang bernilai sakral ketika diterapkan. Hukum jinayat dipandang sebagai hukum Islam yang otentik, dan diyakini akan efektif menyelesaikan berbagai problem sosial. Jenis hukuman lain seperti penjara, bukan saja dianggap kreasi manusia, tapi juga dipandang sebagai produk sistem hukum sekuler yang mengandung ideologi Barat. Karena itu, pada penerapan hukum jinayat sebenarnya terkandung imajinasi tentang Islam Kaffah keberislaman masyarakat dinilai minimalis. Karena itu, penerapan hukum jinayat menjadi bagian dari cita-cita Islamisme. Bermula dari titik inilah mengapa pihak pro qanun jinayat sangat bersikeras supaya hukum jinayat ini tetap diterapkan di Aceh.
Sangat kontras dengan pihak yang tidak setuju dengan hukum acara jinayat ini yang menyatakan bahwa hukum acara jinayat ini perlu adanyan pengkajian ulang dan tidak manusiawi.

Memang hukum ini tersebutkan secara gamblang dalam Al Qur’an (seperti yang tersebutkan dalam Surat An Nur:2) bahwa Perempuan-perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing seratus kali. Dan janganlah rasa belas kasihan terhadap keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Dan hendaknya segolongan orang mukmin menyaksikan siksaan terhadap keduanya.

Yah,hokum ini secara jelas Allah tegaskan dalam firman-Nya. Nah, persoalannya sekarang apakah ada jaminan terhadap tegaknya keadilan dalam implementasi hokum ini?.Jaminan tegaknya keadilan yang menjadi inti hukum tidak ditentukan oleh jenis sanksi yang diterapkan, tapi lebih pada bagaimana hukum itu ditegakkan. Hukum yang berasal dari tradisi manapun, bisa menimbulkan ketidakadilan baru jika aparat penegaknya tidak konsisten bahkan bisa “dibeli”. Karena itu, sekeras apapun jenis sanksi, dan seberapapun ia mampu mempermalukan pelaku kejahatan, ia tidak serta merta akan mengabarkan keadilan bila aparat penegaknya berlaku tidak adil. Menegakkan keadilan tidak bisa dilakukan dengan ketidakadilan. Nah, ini kemudian yang menjadi persoalan dama implementasi qanun jinayat. Adanya keadilan nanti dalam pemberlakuan hokum ini antara rakyat kecil dan rakyat yang mempunyai “jabatan”, tidak ada perbedaan sama sekali.

Inilah yang menjadi pertanyaan, apakah hukum ini akan diberlakukan secara adil kepada semua lapisan masyarakat? Dan mungkin hukum ini tak akan membawa keadilan selama problem yang terkait langsung dengan hajat hidup masyarakat, seperti pemberantasan korupsi, pelayanan publik yang lebih berkualitas, pemberantasan kemiskinan, pendidikan bermutu dan sebagainya, belum mendapat perhatian serius. Atau mungkin keinginan penerapan hukum jinayat sebagai imajinasi Islam Kaffah justru digunakan untuk menutupi problem masyarakat Aceh yang sebenarnya lebih patut diperhatikan.Waallahu ’Alam..
January 2010.

No comments: